- Penulis: Zainul Marzadi,SH,.MH || Dosen Universitas Serasan Muara Enim Dan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Prabumulih
MUARAENIMONLINE.COM –
1. Pengertian Perkawinan Adat
Undang-Undang Amandemen Perkawinan (Definisi Perkawinan) memungkinkan pasangan untuk menikah tanpa memandang jenis kelamin atau orientasi seksual mereka. Definisi perkawinan yang baru dalam Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai persatuan dua orang, tanpa memandang jenis kelamin, orientasi seksual, atau identitas gender mereka.
Menurut Soerojo Wignjodipoero, hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan adat yang mengatur bentuk perkawinan, cara melamar, upacara, dan putusnya perkawinan. Perkawinan adat bisa menjadi urusan pribadi, keluarga, kerabat, atau persekutuan, tergantung pada susunan masyarakatnya.
Perkawinan adat merupakan “Perikatan kekerabatan dan ketetanggaan” yang tidak hanya berdampak pada hubungan keperdataan, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan, serta upacara adat dan keagamaan.
Sistem perkawinan dalam hukum adat di Indonesia adalah hubungan antara dua keluarga yang diikat secara turun-temurun melalui serangkaian upacara adat, dengan tujuan utama melestarikan keturunan, keharmonisan keluarga, dan nilai-nilai komunal.
Terdapat beberapa bentuk dan sistem perkawinan adat, seperti endogami (menikah dalam satu kelompok suku/keluarga), eksogami (menikah di luar kelompok suku/keluarga), dan berbagai sistem lain seperti perkawinan jujur dan perkawinan semendo
2. Tujuan perkawinan adat
1. Mempertahankan dan meneruskan keturunan sesuai garis kekerabatan (garis ayah, ibu, atau keduanya).
2. Menciptakan kebahagiaan rumah tangga dan kerabat.
3. Memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian.
4. Mempertahankan kewarisan.
5. Mengikat hubungan antar kelompok kerabat, bahkan masyarakat yang satu dengan yang lain.
3. Sistem dan bentuk perkawinan adat
1. Endogami: Perkawinan dilakukan dalam satu lingkungan yang sama, seperti suku, klan, atau kekerabatan.
2. Eksogami: Perkawinan dilakukan dengan seseorang dari luar lingkungan suku, klan, atau kekerabatan.
3. Perkawinan Jujur (Jujur atau Mamarit): Ditemui di beberapa suku, di mana pihak laki-laki memberikan sejumlah “jujur” kepada pihak perempuan atau keluarganya sebagai tanda ikatan.
4. Perkawinan Semendo: Dikenal di beberapa daerah, seperti di Sumatera Selatan. Sistem ini biasanya menempatkan laki-laki menjadi bagian dari keluarga perempuan, terkadang dengan kewajiban tinggal bersama.
5. Perkawinan Bebas (Eleutherogami): Sistem yang lebih fleksibel, di mana tidak ada larangan atau batasan wilayah seperti endogami dan eksogami, melainkan hanya larangan berdasarkan pertalian darah yang sangat dekat (nasab).
Ciri khas perkawinan adat
1. Sifat Komunal: Perkawinan tidak hanya kepentingan individu, tetapi juga memiliki tanggung jawab komunal dari masyarakat adat.
2. Larangan Kekeluargaan: Larangan perkawinan umumnya didasarkan pada hubungan kekerabatan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara ayah atau ibu.
3. Prosesi Upacara: Pelaksanaan perkawinan melibatkan berbagai tahapan dan upacara adat yang spesifik, seperti merisik (mencari tahu), meminang, antar belanja, dan akad nikah adat yang dipimpin oleh kepala adat.
4. Kekuatan Mengikat: Perkawinan adat memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara adat dan dianggap sah secara komunal, meskipun terkadang tidak sesuai dengan hukum positif.
Penyebab Perkawinan Adat Marga Rambang Kapak Tengah di Kota Prabumulih adalah sebagai berikut:
Penyebab Perkawinan:
1. Kawin Jujur (كاوين جوچور):
– Perkawinan yang dilakukan karena cinta dan kasih sayang yang tulus antara kedua belah pihak.
– Dilakukan dengan cara yang baik dan benar, yaitu dengan melalui proses adat yang lengkap.
2. Kawin Rasan Tue (كاوين راسان توئ):
– Perkawinan yang dilakukan karena alasan ekonomi atau untuk meningkatkan status sosial.
– Salah satu pihak memiliki harta atau status sosial yang lebih tinggi daripada yang lain.
3. Kawin Belahian (كاوين بلاهيان):
– Perkawinan yang dilakukan karena alasan untuk mempereratkan hubungan keluarga atau untuk menjaga harta warisan.
– Dilakukan dengan cara memperistrikan anak perempuan kepada kerabat atau famili untuk menjaga harta warisan tetap dalam keluarga.
Perkawinan adat Marga Rambang di Muara Enim memiliki beberapa tradisi unik yang memiliki makna dan tujuan tertentu.
Berikut adalah beberapa tradisi yang Anda sebutkan:
1. Kidah-kidahan (Pertunangan Cilik/ Kecek): Tradisi ini dilakukan sejak usia muda antara dua keluarga untuk menjaga silaturahmi dan memastikan kelangsungan hubungan antara dua keluarga di masa depan.
2. Nerime Mangian: Upacara penerimaan pengantin wanita dengan makna simbolis dan penguatan keluarga.
3. Piti Rambang (Kawin Tangkap): Tradisi ini memiliki makna berbeda, yaitu mengambil istri secara paksa, seperti yang dilakukan di Sumba.
Tradisi-tradisi ini memiliki nilai-nilai budaya dan sosial yang penting dalam masyarakat Rambang di Muara Enim. Namun, perlu diingat bahwa tradisi “Piti Rambang” yang melibatkan pengambilan istri secara paksa tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Proses perkawinan Adat Marga Rambang memiliki beberapa tahapan yang unik dan memiliki makna tertentu. Berikut adalah beberapa tahapan yang umum dilakukan:
1. Kidah-kidahan (Pertunangan Cilik): Proses pertunangan yang dilakukan sejak usia muda antara dua keluarga untuk menjaga silaturahmi dan memastikan kelangsungan hubungan antara dua keluarga di masa depan.
2. Ngerencangi: Proses pendekatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan untuk membicarakan rencana pernikahan.
3. Nerime Mangian: Upacara penerimaan pengantin wanita dengan makna simbolis dan penguatan keluarga.
4. Pemberian Mahar: Pemberian mahar dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai tanda keseriusan dan tanggung jawab.
5. Prosesi Pernikahan: Prosesi pernikahan adat yang dilakukan dengan ritual dan adat istiadat tertentu.
6. Pesta Pernikahan: Pesta pernikahan yang diadakan untuk merayakan pernikahan dan mempererat hubungan antara keluarga dan masyarakat. ( Bpk Aminur Desa Sukamerindu )
Setiap tahapan memiliki makna dan tujuan tertentu, dan dilakukan dengan penuh keseriusan dan tanggung jawab. Dengan memahami proses perkawinan Adat Marga Rambang, kita dapat belajar tentang nilai-nilai budaya dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Dengan memahami dan menghargai tradisi-tradisi ini, kita dapat belajar tentang nilai-nilai budaya dan sosial yang terkandung di dalamnya. Semoga tulisan menambang pengetahuan mengenai adat istiadal Perkawinan marga rambang yang ada di Propinsi Sumatera selatan .
Refrensi ;
Narasumber ; Bpk Darsono sbg toko adat marga rambang
1. Hilman Hadikusuma. (1983). Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni. Hal. 22
2. Imam Sudiyat. (2007). Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty. Hal. 107
3. Soerjono Soekanto. (1992). Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 132.
Catatan: Redaksi menerima dalam bentuk tulisan, terkait isi merupakan hal dan tanggung jawab penulis







